Gangguan neurologis pada anak merupakan hal penting yang perlu para orang tua tangani sedini mungkin, salah satunya dispraksia. Namun, tidak semua orang paham akan gangguan ini serta apa saja yang harus dilakukan untuk mengatasinya.

Padahal, jika anak yang menderita dispraksia tidak segera mendapatkan penanganan yang tepat, gangguan ini dapat memberikan beberapa hambatan bagi anak untuk berkembang layaknya anak normal.

Oleh karena itu, para orang tua hendaknya mulai memahami hal ini karena lebih awal ketemu, lebih awal pula hal ini dapat teratasi. Simak penjelasan mengenai dispraksia berikut ini.

Apa Itu Dispraksia?

Dispraksia - Sekolah Prestasi GlobalPhoto by Robo Wunderkind on Unsplash

Melansir Medical News Today, dispraksia merupakan kondisi di mana terjadi gangguan neurologis yang berdampak pada kemampuan seseorang dalam merencanakan dan memproses kegiatan motorik tubuh.

Gangguan motorik pada anak ini berpengaruh pada lemahnya koordinasi antara otot dengan otak sehingga dapat mengganggu aktivitas otot yang kompleks, seperti menulis, menyeimbangkan diri, berolahraga, sampai menari.

Akan tetapi, meski dispraksia tak mempengaruhi tingkat kecerdasan anak, gangguan ini pun dapat memengaruhi perkembangan anak, khususnya pada hal motorik. Hal ini terjadi karena sistem sarafnya terganggu.

Akibatnya, penderita dispraksia kemungkinan besar akan mengalami penundaan perkembangan kemampuan motorik jika dibandingkan anak seusianya.

Namun, bukan berarti anak tersebut menjadi hopeless untuk belajar tentang aktivitas motorik, ya! Penderita dispraksia hanya butuh waktu dan usaha ekstra untuk mempelajari hal-hal motorik tersebut.

Oleh karena itu, sebaiknya para orang tua paham mengenai cara mengatasi si kecil yang memiliki dispraksia ini supaya proses pembelajaran motorik bisa terlaksana dengan maksimal.

Cara Mengatasi Dispraksia

Nyatanya, dispraksia bukan merupakan penyakit, melainkan gangguan. Jadi, gangguan ini tak bisa “sembuh” atau “terobati”. Alih-alih, gangguan ini dapat Anda ringankan supaya si kecil dapat terbantu.

Sebenarnya, ada beberapa kasus di mana gejala yang si kecil derita bisa menjadi lebih ringan dengan sendirinya. Namun, hal tersebut tidak terjadi pada rata-rata penderita.

Nah, karena gejala yang tampak dapat berbeda-beda pada tiap anak, maka penanganan yang tepat harus diberikan pada setiap pasien. Oleh karena itu, konsultasi dengan dokter adalah kunci dalam hal ini agar diagnosanya tepat.

Umumnya, penanganan dispraksia berjalan dengan cara terapi. Namun, tingkatan tiap terapi pun juga harus sesuai dengan tingkat parahnya gejala dispraksia yang si kecil derita.

Pada dasarnya, terapi ini berbasis membantu si kecil untuk melakukan aktivitas-aktivitas sederhana hingga yang lebih kompleks. Lalu, kunci dari terapi ini adalah repetisi.

Simak beberapa terapi penanganan pasien dispraksia berikut ini:

1.Terapi Okupasi

Pada dasarnya, terapi okupasi merupakan jenis terapi yang diberikan kepada pasien agar dapat melakukan kegiatan sehari-hari dengan normal.

Nah, pada penderita dispraksia, terapi ini bermula dengan observasi pasien oleh terapis yang bersangkutan. Kegiatan sehari-hari pasien berada di bawah pengamatan. Dengan begitu, terapis dapat mengetahui hal apa saja yang perlu ia bantu.

Kegiatan yang melalui proses observasi beragam mulai dari kegiatan sehari-hari di rumah hingga di sekolah.

Setelah selesai observasi, terapis akan membantu anak tersebut untuk mengembangkan kemampuannya dalam melakukan hal-hal motorik yang kurang ia kuasai, misalnya menulis.

2. Terapi Wicara

Pada beberapa kasus dispraksia, ada anak-anak yang mengalami keterlambatan berbicara. Nah, hal ini membutuhkan bantuan terapis terapi wicara.

Sebelum terapi, si kecil akan melalui pengecekan kemampuannya dalam berbicara sehingga nantinya sang terapis dapat membantu si kecil berdasarkan tingkatan kesulitannya.

Terapi ini berjalan secara dua arah. Biasanya, terapis akan mengajak si anak mengobrol untuk meningkatkan kemampuannya.

3. Terapi Motorik Perseptual

Pelatihan ini mengharuskan si kecil menyelesaikan rangkaian tugas step by step. Dengan begitu, si kecil akan terangsang untuk lebih aktif lagi dalam aktivitas motorik.

Latihan yang dilakukan termasuk skill visual, mendengar, berbahasa, serta gerakan. Jadi, seluruh kemampuan motorik si kecil akan menjadi aktif.

Oleh karena itu, terapi ini terlaksana secara slow-paced agar si kecil tidak menjadi kesulitan dan overwhelmed dengan beban tugas yang ia terima.

4. Terapi Active Play (Bermain Aktif)

Sesuai dengan namanya, terapi ini berjalan dengan melibatkan aktivitas fisik dalam balutan permainan. Selain untuk merangsang aktivitas motorik anak, hal ini juga bertujuan untuk peningkatan koordinasi si kecil.

Ada banyak sekali jenis permainan yang dapat Anda berikan kepada si kecil. Mulai dari aktivitas indoor sederhana seperti menyusun balok, bermain lego, dan lain sebagainya.

Jika ingin step up ke aktivitas outdoor yang lebih aktif, ajak si kecil untuk bermain seperti ayunan, lari-lari, lompat tali, dan lain sebagainya.

Anda bisa menyesuaikan jenis permainannya dengan kemampuan dan mood si kecil saat itu supaya sesi terapi menjadi lebih menyenangkan.

5. Equine Therapy

Terapi equine menggunakan bantuan kuda untuk perkembangan fisik, mental, emosional, perilaku, serta kognitif untung penyandang dispraksia. Nantinya, si kecil akan dilatih untuk menunggang kuda dalam pengawasan ahli.

Melansir sebuah jurnal keluaran Journal of Alternative and Complementary Medicine, terapi ini dapat memberikan si kecil stimulasi motorik serta kognitif.

6. Cognitive Behavioural Therapy (CBT)

Selain mempengaruhi keterampilan motorik, ternyata gangguan neurologis ini juga bisa berdampak pada psikologis anak. Oleh karena itu, terapi kognitif merupakan salah satu alternatif tepat.

Terapi ini ternyata dapat membantu si anak untuk mengalihkan perhatiannya dari sesuatu terkait motoriknya yang membuat ia tertekan. Si terapis akan membantu si kecil dalam berpikir kognitif.

Dengan begitu, otomatis si kecil akan menjadi semakin rileks dan psikologisnya pun tak terganggu.

Bagaimana Gejala Dispraksia pada Anak?

Gejala dispraksia pada anak - Sekolah Prestasi GlobalPhoto by Jerry Wang on Unsplash

Sebelum melakukan penanganan, ada baiknya Anda selaku orang tua memahami gejala-gejala penyandang dispraksia agar bisa melakukan pencegahan.

Umumnya, penderita dispraksia tak selalu menunjukkan dengan jelas bahwa mereka “mengidap” gangguan ini. Alih-alih, mereka akan tampak seperti anak yang normal.

Maka dari itu, memahami gejala-gejala kecil tentang gangguan ini akan membantu Anda dalam mendeteksi dispraksia sejak dini pada si kecil. Simak beberapa gejalanya berikut ini.

1. Gejala pada Bayi

Ternyata, Anda bisa, lho, mendeteksi gejala dispraksia bahkan sejak si kecil masih berusia sangat muda alias bayi. Pada usia bayi, gangguan ini dapat Anda cermati melalui gerak-gerik serta perkembangan motorik si kecil yang kasat mata.

Salah satu contoh paling mudah adalah keterlambatan si kecil dalam melakukan aktivitas seperti mengangkat kepala.

Misalnya, pada usia 4-5 minggu, rata-rata bayi sudah dapat mengangkat kepalanya sedikit demi sedikit. Namun, ada pula bayi yang terlambat dalam menguasai kemampuan ini. Nah, hal tersebut bisa jadi menjadi salah satu tanda-tanda adanya dispraksia.

Selain itu, Anda juga bisa memantau gerak-gerik si kecil seperti mudah marah, memiliki postur dan posisi yang tak biasa, sensitif atau bahkan membenci suara keras, susah tidur, hingga susah makan.

2. Gejala pada Usia Balita

Pada usia di bawah 5 tahun, Anda dapat melihat beberapa gejala pada si kecil mengenai penguasaan terhadap aktivitas motorik seperti bicara, duduk, merangkak, berdiri, maupun berjalan.

Jika si kecil menunjukkan tanda-tanda keterlambatan kemampuan pada setiap fase usia, ada kemungkinan ia memiliki gangguan ini.

3. Gejala pada Masa Kanak-kanak

Nah, gejala pada masa kanak-kanak lebih bervariasi lagi jenisnya. Salah satu contohnya adalah kesulitan dalam melakukan aktivitas sederhana seperti mengancingkan baju, memakai kaos kaki, menulis, hingga makan dan minum dengan rapi.

Selain itu, si kecil juga memungkinkan untuk memiliki kecenderungan ceroboh. Hal tersebut misalnya mudah menjatuhkan barang, tidak seimbang hingga mudah jatuh, dan lain sebagainya.

Gejala-gejala di atas dapat menjadi acuan untuk Anda mendeteksi apakah si kecil memiliki potensi gangguan dispraksia.

Sayangnya, gejala tersebut tidak selalu mengarah kepada dispraksia karena terkadang gejalanya terlalu general. Oleh karena itu, Anda pun harus mengonsultasikan dengan tenaga medis yang lebih paham.

Apa yang Menyebabkan Dispraksia pada Anak?

Nyatanya, sampai sekarang belum ada yang bisa mendeteksi apa penyebab utama dari gangguan ini. Namun, ada beberapa dugaan yang para ahli utarakan mengenai penyebab dispraksia, di antaranya:

1. Perkembangan Saraf Motorik

Ada kemungkinan terjadinya hambatan pada perkembangan saraf motorik pada otak si kecil. Oleh karena itu, sel saraf pengendali otot, yaitu saraf motorik, mengalami gangguan.

Gangguan tersebut menjadikan perkembangan sel otak menjadi tidak matang sehingga berbeda dengan anak normal pada umumnya.

2. Genetik

Selain terhambatnya perkembangan saraf motorik, ada pula kemungkinan penurunan secara genetik. Beberapa kasus dispraksia menunjukkan adanya ketidakseimbangan pada faktor gen sehingga dispraksia pun tak bisa ia hindari.

3. Bayi Lahir Prematur

Pada bayi yang lahir prematur, kemungkinan dispraksia menjadi lebih tinggi karena bayi tersebut relatif belum memiliki organ tubuh yang telah berkembang sempurna.

Selain itu, bayi yang lahir normal dengan berat badan sangat ringan pun bisa jadi memiliki potensi dispraksia lebih besar daripada bayi dengan berat normal.

4. Gaya Hidup Kurang Sehat Ibu Hamil

Tak semua ibu hamil memiliki pola hidup yang sehat. Ada yang masih konsumsi alkohol atau bahkan obat-obatan terlarang. Pola hidup ini otomatis mempengaruhi perkembangan janin.

Nah, eksposur bayi di dalam kandungan terhadap zat-zat tidak sehat tersebut bisa jadi mempengaruhi perkembangannya saat lahir kelak. Dengan begitu, gangguan dispraksia pun mungkin saja terjadi.

Kesimpulan

Nyatanya, dispraksia merupakan gangguan neurologis yang dapat mempengaruhi perkembangan kemampuan motorik anak. Gejalanya pun bermacam-macam, mulai dari yang subtle hingga yang cukup jelas.

Gangguan ini tak bisa “sembuh” karena bukan merupakan suatu penyakit. Juga, gangguan ini tak bisa menjadi “lebih parah” atau “lebih akut” seperti penyakit lainnya.

Meski begitu, gangguan ini tetap harus Anda anggap serius karena dapat memengaruhi tumbuh kembang anak. Jadi, terapi menjadi alternatif utama penanganannya.

Beberapa contoh terapi adalah terapi okupasi, terapi wicara, terapi motorik perseptual, terapi bermain aktif, terapi equine, hingga terapi kognitif. Berbagai alternatif terapi tersebut perlu Anda sesuaikan dengan kebutuhan si kecil.

Anak penyandang dispraksia memerlukan bantuan dari orang dewasa di sekitarnya untuk bisa berkembang lebih baik lagi. Oleh karena itu, peran lingkungan sangat penting, baik lingkungan keluarga maupun sekolah.

Maka dari itu, Anda bisa memilih Sekolah Prestasi Global untuk memastikan si buah hati dengan dispraksia berada di lingkungan suportif untuk tumbuh kembangnya.

Baca Juga : Mengetahui Karakter Anak Berdasarkan Warna Favoritnya

Apa itu dispraksia?

Melansir Medical News Today, dispraksia merupakan kondisi di mana terjadi gangguan neurologis yang berdampak pada kemampuan seseorang dalam merencanakan dan memproses kegiatan motorik tubuh. Gangguan motorik pada anak ini berpengaruh pada lemahnya koordinasi antara otot dengan otak sehingga dapat mengganggu aktivitas otot yang kompleks, seperti menulis, menyeimbangkan diri, berolahraga, sampai menari.

Seperti apa salah satu cara mengatasi dispraksia?

Salah satu cara mengatasi dipraksia yaitu dengan melakukan terapi okupasi. Pada penderita dispraksia, terapi ini bermula dengan observasi pasien oleh terapis yang bersangkutan. Kegiatan sehari-hari pasien berada di bawah pengamatan. Dengan begitu, terapis dapat mengetahui hal apa saja yang perlu ia bantu. Kegiatan yang melalui proses observasi beragam mulai dari kegiatan sehari-hari di rumah hingga di sekolah. Setelah selesai observasi, terapis akan membantu anak tersebut untuk mengembangkan kemampuannya dalam melakukan hal-hal motorik yang kurang ia kuasai, misalnya menulis.

Bagaimana gejala dispraksia pada balita?

Pada usia di bawah 5 tahun, Anda dapat melihat beberapa gejala pada si kecil mengenai penguasaan terhadap aktivitas motorik seperti bicara, duduk, merangkak, berdiri, maupun berjalan. Jika si kecil menunjukkan tanda-tanda keterlambatan kemampuan pada setiap fase usia, ada kemungkinan ia memiliki gangguan ini.